BATU BARA | zabara.id, Praktisi hukum Ramadhan Zuhri, SH, menilai bahwa PT. Socfindo telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak mengindahkan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Batubara No. 11 Tahun 2020 dalam proses perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) mereka.
Menurut Ramadhan, secara eksplisit regulasi tersebut menyatakan bahwa sebagian areal PT. Socfindo yang berada di wilayah Kecamatan Limapuluh telah ditetapkan sebagai kawasan permukiman dalam zonasi RTRW kabupaten. Namun ironisnya, perusahaan tetap mengacu pada RTRW Provinsi Sumatera Utara yang menetapkan kawasan tersebut sebagai areal perkebunan.
“Ini sudah jelas bentuk pengangkangan terhadap produk hukum daerah. Pemerintah daerah seharusnya tidak tinggal diam dan wajib menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (3) Perda No. 11 Tahun 2020,” tegas Ramadhan, Jumat (16/05/2025).
Adapun sanksi yang dimaksud antara lain berupa: peringatan tertulis, penghentian kegiatan, penutupan lokasi, pencabutan atau penolakan izin, hingga denda administratif.
Ramadhan bependapat, pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat untuk bertindak, apalagi proses pembaruan RTRW Provinsi saat ini masih digodok dan belum final.
Ramadhan juga mengingatkan bahwa masyarakat memiliki hak sebagaimana tertuang dalam Pasal 68 Perda No. 11 Tahun 2020, termasuk hak untuk mengetahui tata ruang, mengajukan keberatan atas pembangunan yang tak sesuai rencana tata ruang, dan bahkan menuntut pembatalan izin.
“Dengan fakta yang ada, sangat beralasan hukum bagi masyarakat dan pemda untuk meminta kepada Ketua Komisi II DPR RI agar menegur Kementerian ATR/BPN dan menunda proses perpanjangan HGU PT. Socfindo sampai ada kejelasan hukum dan sinkronisasi antara RTRW provinsi dan kabupaten,” tegasnya.
Kasus ini menjadi perhatian penting karena menyangkut wajah ibukota Kabupaten Batubara di Limapuluh yang kini terkunci oleh areal perkebunan.
Ketidaksinkronan data tata ruang bisa berdampak panjang, baik pada pembangunan infrastruktur publik maupun pada hak-hak masyarakat atas ruang hidup yang layak.
Baca : Areal Ibukota Batubara Sempit dan Terkunci, Asisten II: Sudah 18 Tahun Tapi Tak Banyak Perkembangan
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Asisten II Sekretariat Daerah Kabupaten Batubara, Bambang Iskandar, mengungkapkan bahwa areal ibukota Kabupaten Batubara di Kota Limapuluh saat ini masih tergolong sempit dan tidak memiliki ruang gerak yang memadai. Bahkan, menurutnya, kawasan pusat pemerintahan tersebut seolah “terkunci” oleh areal perkebunan yang mengelilinginya.
“Kalau dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang sama-sama mekar sekitar 18 tahun lalu, kita bisa dibilang tertinggal dari segi tata letak dan wajah pusat pemerintahannya,” ujar Bambang kepada wartawan, Kamis (9/5/2025), di ruang kerjanya.
Sebagai mantan Camat Limapuluh, Bambang menyayangkan tidak adanya efek domino atau multiplier effect dari status Limapuluh sebagai ibukota kabupaten. “Seharusnya sudah hadir toko-toko, pusat niaga, pusat perbelanjaan baru, dan geliat ekonomi lainnya. Tapi faktanya tidak signifikan,” terangnya.
Ia kemudian menegaskan pentingnya perhatian terhadap wajah ibukota sebagai cerminan dari pemerintahan daerah. “Pak Bupati Baharuddin Siagian bilang, wajah ibukota itu cermin dari wajah pemerintahannya,” katanya.
Bambang juga menyinggung keterbatasan ruang yang disebabkan oleh areal perkebunan, termasuk perkebunan PT Socfindo Limapuluh dan Kebun Tanah Gambus. Ia merujuk pada Pasal 9 ayat (2) Perda RTRW Batubara No. 11 Tahun 2020, yang menegaskan bahwa kawasan kota Limapuluh ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang harusnya menjadi pusat pemerintahan, permukiman, perdagangan, dan jasa. (Red),